Penentuan Batas Keamanan Zat Gizi Mikro

Posted: Rabu, 24 September 2008 by smarters06 in Label:
0

Dari beberapa studi yang dilakukan di kota besar Indonesia,
menunjukkan bahwa pada sebagian kelompok masyarakat menengah ke atas sudah terbiasa mengkonsumsi suplemen zat gizi.
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonusa Esa Unggul Idrus Jus’at memaparkan, dari sampel yang diteliti di Kota Bogor dan Jakarta, disimpulkan bahwa sebanyak 50-70% wanita pekerja hampir selalu menggunakan suplementasi zat gizi. Walaupun ratarata asupan mineral dari konsumsi pangan harian masih rendah, namun pada kelompok masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi suplemen zat gizi, ada kemungkinan sudah melebihi batas ambang yang aman. “Aplikasi penilaian risiko zat gizi sudah mulai perlu dilakukan pada kelompok populasi tersebut, terutama
untuk jenis zat gizi tertentu, seperti vitamin C, vitamin A, besi dan seng,” kata Idrus Jus’at dalam Forum Widyakarya Pangan dan Gizi IX di Jakarta akhir Agustus lalu.

Batas maksimum keamanan vitamin dan mineral pada produk pangan di beberapa negara mengacu pada angka kecukupan gizi masingmasing negara. Angka kecukupan gizi (AKG) merupakan nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tertentu.

Penentuan batas maksimum dimaksudkan untuk mengurangi potensi kelebihan asupan zat gizi tertentu dan menjaga agar produk pangan yang dikonsumsi tetap seimbang dan aman untuk populasi dalam lingkup luas. Oleh karena itu, “Batas minimum atau batas maksimum harus di tuliskan pada label produk, dan diinformasikan pada saat mengiklankannya,” tandas Idrus. Semua nilai gizi yang ada dalam bahan pangan tersebut harus dituliskan jumlah dan persentasenya dengan AKG. Hal ini diperlukan agar dapat mengurangi terjadinya kelebihan asupan zat gizi melalui konsumsi pangan yang difortifikasi, terutama zat gizi yang sudah mempunyai nilai batas level tertingginya. Setiap zat gizi mempunyai nilai batas toksisitas yang berbedabeda. Idrus mencontohkan, selenium menyebabkan toksik pada konsumsi 10 kali dari AKG, sedangkan vitamin C diberikan 25 kali masih bebas dari risiko toksik. Oleh karena itu, penetapan batas maksimum sebaiknya menggunakan angka batas maksimum yang dikenal dengan Tolerable Upper Intake levels (UL).
“Kelebihan menggunakan angka ini adalah asupan zat gizi yang paling tinggi mempunyai efek positif terhadap kesehatan dan tidak menimbulkan toksisitas,” kata Idrus. Penetapan angka UL ini telah didasarkan pada proses yang panjang yaitu melalui kajian risiko yang diawali proses pengumpulan data yang terkait dengan tingkat konsumsi yang dapat menimbullkan toksisitas pada manusia, kajian besarnya dosis yang dapat menimbulkan respon toksik, kajian populasi yang menerima suplemen gizi,dan terakhir penarikan kesimpulan.

Asupan Kalsium dan Overweight

Posted: by smarters06 in Label:
0

Studi epidemiological yang dilakukan oleh peneliti
dari University of Sao Paulo Brazil menambah
perdebatan akan peranan kalsium, terutama yang berasal dari susu, dalam mengurangi berat badan.
Topik tersebut menjadi kontroversi karena beberapa hasil penelitian memberikan hasil yang berbeda.

Penelitian yang melibatkan 1459 orang dewasa berusia 20 hingga 59 tahun, 30% diantaranya mengalami overweight, dan 13% obesitas. Dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa rata-rata asupan kalsium dari panelis tersebut adalah 448,6 mg/hari. Panelis yang mengkonsumsi kalsium rata-rata terendah (kurang dari 264,9 mg/hari) memiliki prevalensi
overweight 24% lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengkonsumsi kalsium minimal 593,7 mg/hari. Namun, penelitian yang dipimpin oleh Milena Baptista tersebut Bueno tidak menemukan bukti hubungan sebab akibat antara asupan kalsium dengan penurunan berat badan.

Konsumsi kalsium yang lebih tinggi mengindikasikan gaya hidup yang sehat. Asupan kalsium yang mencukupi dipenuhi oleh wanita yang tidak merokok, sering melakukan olahraga, dan memiliki tingkat pendidikan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup dan tingkat sosial ekonomis memberikan akses kesehatan yang lebih baik.