Potensi Ekstrak Beri untuk Fungsi Kognitif

Posted: Kamis, 01 Januari 2009 by smarters06 in Label:
0

Sebuah penelitian menggunakan tikus tua yang diberi makan komponen dari beri dan anggur, pterostilbene, menghasilkan perubahan mental lebih baik dibandingkan dengan tikus yang tidak disuplementasi. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pada tikus tua, pterostilbene secara efektif melawan penurunan fungsi kognitif yang terjadi secara alami akibat usia, dan kadangkala mendahului terjadinya penyakit seperti Alzheimer.

Perbaikan kerja memori pada hewan berkaitan dengan level pterostilbene pada daerah hippocampus otak. Penelitian yang dipublikasikan oleh Journal of Agricultural and Food Chemistry tersebut dipimpin oleh Barbara Shukkit-Hale.

Tim peneliti membagi penelitian menjadi dua tahap. Tahap pertama meliputi screening tujuh komponen stilbene yang berbeda dalam kultur sel. Hasilnya menunjukkan bahwa pterostilbene sebagai yang paling efektif mencegah oxidative stress.

Pada tahap kedua penelitian, tikus dibagi ke dalam tiga grup yang meliputi kontrol, tikus yang diberi diet rendah, dan kaya pterostilbene. Shukkit-Hale dan timnya menemukan bahwa komponen tersebut memperbaiki kinerja memori tikus.

Penelitian tentang beri memang semakin populer. Beberapa waktu lalu, dalam Journal Neurology and Aging, juga dilaporkan bahwa tikus yang mendapat suplementasi ekstrak strawberry dan blueberry, terlindung dari beberapa kerusakan fungsi otak.

Hasil-hasil penelitian tersebut tentu sangat menarik bagi industri pangan, terutama dengan semakin berkembangnya ketertarikan terhadap pangan fungsional.

Pengembangan Pangan Fungsional

Posted: by smarters06 in Label:
1

Oleh Ali Khomsan Sebenarnya setiap pangan yang dikonsumsi seseorang pasti memberikan manfaat fungsional baik karena kandungan gizinya, manfaatnya untuk kesehatan, atau kemampuannya untuk mencegah penyakit. Dalam perkembangan selanjutnya, pangan fungsional memiliki definisi yang lebih spesifik yakni pangan yang memiliki kemampuan untuk menjaga kesehatan dan performa fisik seseorang karena adanya senyawa-senyawa pangan di luar kandungan gizinya. Jadi pangan fungsional dikonotasikan harus memiliki daya pencegahan atau menjaga dan meningkatkan kebugaran.

Saat ini tren perkembangan pangan fungsional sangat menjanjikan ditinjau dari sisi bisnis. Hal ini tidak terlepas dari semakin sadarnya individu tentang upaya meraih hidup sehat. Sebelum datang penyakit, lebih baik mencegah daripada mengobatinya. Biaya berobat ke rumah sakit yang semakin mahal, membuat konsumen semua berpikir bahwa menjaga asupan makanan merupakan kiat jitu untuk menangkal penyakit.

Produk-produk pangan alami dengan berbagai klaim untuk mendukung kesehatan kini dengan mudah dijumpai di pasaran. Pangan fungsional seringkali dirancukan dengan istilah-istilah lain seperti suplemen atau produk herbal. Memang semua produk-produk tersebut dimaksudkan untuk menunjang kesehatan yang prima. Hanya saja pengertian suplemen dan pangan sesungguhnya harus dibedakan.

Kaya serat?

Pangan fungsional adalah benar-benar berwujud pangan yang dapat dikonsumsi setiap saat oleh yang memerlukannya, jadi bukan berbentuk kapsul atau tablet. Kalau diperhatikan berdasarkan fungsinya, maka pangan fungsional dapat berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mencegah penyakit, memulihkan kondisi tubuh, dan menghambat proses penuaan.

Sebagai contoh, produk-produk pangan kini banyak yang mengklaim kaya serat atau diperkaya dengan serat untuk menjaga kesehatan jantung. Pangan berbahan baku sereal, agar-agar, dan sayuran-buah secara alami memang mengandung serat tinggi. Pernah serat pangan ini dianggap sebagai ”the forgotten nutrient” karena fungsinya ketika itu belum jelas. Serat pangan terdiri dari dua komponen utama yaitu serat larut dan tak larut. Serat larut tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia tetapi larut dalam air, sedangkan serat tak larut tidak dapat dicerna dan juga tidak dapat larut dalam air. Meski tidak dapat dicerna, namun serat mempunyai fungsi metabolisme zat gizi yang penting di dalam tubuh.

Sebagai salah satu komponen bahan pangan, serat ternyata mempunyai peranan penting dalam kesehatan. Hal ini telah dibuktikan dari berbagai penelitian epidemiologis maupun klinis.

Dewasa ini pola makan modern sering dihubungkan dengan tingginya kolesterol yang berasal dari pangan hewani. Kolesterol adalah pemicu munculnya penyakit degeneratif seperti stroke dan penyakit jantung koroner. Salah satu upaya untuk menekan tingginya kolesterol darah adalah dengan meningkatkan konsumsi serat larut. Di dalam saluran pencernaan serat larut ini akan mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Dengan demikian semakin tinggi konsumsi serat larut akan semakin banyak asam empedu dan lemak yang dikeluarkan oleh tubuh.

Pangan kaya omega 3 Pangan fungsional lain adalah yang diklaim sebagai sumber omega-3 atau sumber polifenol.

Kalau konsumen membeli produk pangan yang pada kemasannya disebutkan mengandung linolenat, EPA atau DHA, maka sebenarnya hal itu merujuk pada omega-3. Omega-3 ini ada yang memiliki atom karbon 20 (disebut EPA atau eicosapentaenoic acid) dan ada pula yang atom karbonnya 22 (disebut DHA atau docosahexaenoic acid).

Istilah omega berasal dari bahasa Latin yang berarti ujung netral atau terakhir. Dalam struktur kimia organik, apabila letak atau posisi ikatan rangkap berada pada atom karbon ketiga terhitung dari gugus metil, maka asam lemak tersebut dinamakan omega-3.

Omega-3 sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Manfaat omega-3 bagi kesehatan tubuh yaitu sebagai bahan penyusun lemak struktural yang membangun 60% bagian otak manusia. Asam lemak ini merupakan zat gizi penting bagi bayi terutama untuk perkembangan fungsi saraf dan penglihatan.

Bagi orang dewasa omega-3 berguna untuk mencegah penyakit-penyakit pembuluh darah. Di supermarket kini dapat dijumpai telur dengan kandungan omega-3 tinggi. Untuk menghasilkan telur kaya omega-3 ini, ayam diberi pakan biji-bijian, minyak nabati, dan suplemen vitamin E. Sementara itu, pakan yang bersumber dari bahan hewani dihilangkan. Ini merupakan upaya terobosan untuk mengantisipasi salah satu sisi negatif telur yaitu sebagai pangan sumber kolesterol yang kadang-kadang ditakuti oleh sebagian masyarakat. Dengan mengkonsumsi telur kaya omega-3, efek buruk kelebihan kolesterol dapat dihindari. Kandungan omega-3 dalam telur yang sudah direkayasa ini bisa mencapai 15 kali lipat dibandingkan telur biasa.

Teh, simbol minuman kesehatan

Pangan mengandung polifenol seperti teh kini semakin banyak dijumpai dengan beragam kemasan. Baik teh hitam maupun teh hijau sama-sama diklaim bermanfaat untuk menangkal penyakit degeneratif. Teh berasal dari bahasa Cina tay. Bangsa Cina mengenal teh sejak 2700 SM, kemudian orang Jepang mulai mengembangkan penanaman teh sejak 800 M serta menjadikannya sebagai bagian tradisi sosial dan agama.

Teh hijau identik dengan simbol minuman kesehatan. Teh hijau adalah teh yang berasal dari pucuk daun teh yang sebelumnya mengalami pemanasan dengan uap air untuk menonaktifkan enzim-enzim yang terdapat dalam daun teh, kemudian digulung dan dikeringkan. Minuman teh hijau berwarna kuning hijau dan terasa lebih sepat dibandingkan teh hitam.

Teh hitam dibuat dari pucuk daun teh segar yang dibiarkan menjadi layu sebelum digulung, kemudian dipanaskan dan dikeringkan. Teh hitam disebut juga teh fermentasi. Sebagian besar (98%) teh yang beredar di pasaran adalah teh hitam.

Daun teh mengandung tiga komponen penting yang mempengaruhi mutu minuman yaitu kafein yang memberikan efek stimulan, tannin yang memberi kekuatan rasa (ketir), dan polifenol. Polifenol yang terkandung dalam teh mempunyai banyak khasiat kesehatan.

Polifenol adalah antioksidan yang kekuatannya 100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih tinggi dibandingkan vitamin E. Polifenol bermanfaat untuk mencegah radikal bebas yang merusak DNA dan menghentikan perkembangbiakan sel-sel liar (kanker). Untuk mengambil khasiat antioksidan dari teh, dianjurkan agar konsumen menyeduh teh dalam air hangat selama tiga menit.

Pengembangan pangan fungsional dengan segala macam klaim yang menyertainya harus tetap didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang telah dilakukan. Testimonial perorangan, untuk meyakinkan konsumen tentang manfaat pangan atau suplemen tertentu, kurang dapat dipertanggungjawabkan dari sisi ilmiah. Dalam hal ini Badan POM tentunya telah mempunyai rambu-rambu yang jelas mengenai pedoman klaim kesehatan dari pangan fungsional yang beredar.

Mengingat bahwa secara alami pangan tertentu mungkin telah mengandung senyawa fungsional, maka penambahan atau fortifikasinya perlu diinformasikan kepada konsumen yakni telah meningkat seberapa banyak dibandingkan kadar dalam pangan asli. Demikian pula stabilitas bahan tambahan perlu diketahui setelah mengalami paparan panas, cahaya, dan lain-lain selama proses penyimpanan berlangsung.

Pasar pangan fungsional di Indonesia kita tampaknya akan semakin prospektif seiring dengan membaiknya

tingkat pendidikan penduduk. Kesadaran masyarakat tentang makna penting hidup berkualitas akan mendorong semakin meningkatnya tuntutan akan makanan yang sehat dan menyehatkan.

Pangan Olahan Organik

Posted: by smarters06 in Label:
0

Oleh Agung Prawoto

Saat ini pangan organik tidak hanya diperdagangkan dalam bentuk segar saja, namun telah banyak pula diperdagangkan dalam bentuk olahan sehingga memberikan konsumen banyak pilihan bagi produk organik yang dikonsumsinya. Kegiatan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil merupakan salah satu tahapan produksi yang penting dalam pertanian organik. Dua kegiatan ini dilakukan untuk menghasilkan pangan organik yang berkualitas yang tetap terjaga status organiknya.

Pangan organik adalah pangan yang dihasilkan dari sistem pertanian organik, dari budidaya, pasca panen hingga pengolahan hasil. Pangan dapat dinyatakan organik apabila sistem produksi tersebut dijalankan dengan benar dan mengikuti kaidah-kaidah pangan organik. Untuk menghasilkan pangan organik, perlu dilakukan budidaya, pasca panen, pengolahan, pelabelan hingga pemasaran yang memenuhi prinsip-prinsip pangan organik yang sesuai dengan SNI 01-6729-2002 tentang Sistem Pangan Organik.

Penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pangan organik bertujuan untuk menjaga kualitas dan meningkatkan daya simpan produk, meningkatkan nilai tambah, menjaga kualitas pangan yang dihasilkan dan memberikan kemudahan bagi konsumen dengan tetap menjaga integritasnya sebagai pangan organik.

Keorganikan produk organik ditentukan oleh proses produksinya, dari lahan hingga produk akhir [from the farm to the table]. Integritas produk pangan organik harus tetap dijaga selama fase penanganan pasca panen dan pengolahan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan hati-hati untuk menghindari kontaminasi, meminimalkan pemurnian serta penggunaan aditif dan alat bantu pengolahan yang diizinkan. Ada dua hal yang berpotensi mempengaruhi keorganikan produk olahan organik. Pertama, mengenai kandungan bahan organik yang digunakan. Kedua, potensi kontaminasi akibat pencampuran dengan produk non organik dan bahan-bahan yang dilarang saat proses pengolahannya.

Produk pangan organik olahan harus terdiri dari bahan-bahan pangan yang dibudidayakan dan diolah secara organik. Jika menggunakan bahan tambahan, maka bahan tambahan tersebut harus bahan yang diijinkan digunakan dalam pengolahan pangan organik.

Jika ingridien asal produk pertanian organik tidak tersedia, atau dalam jumlah tidak mencukupi, bahan pangan non organik dapat digunakan dalam pangan olahan organik maksimal 5 % dari total berat atau volume, tidak termasuk air dan garam. Artinya, standar hanya memperkenankan minimal 95% kandungan bahan pangan organik yang digunakan dalam pangan olahan organik, tidak termasuk air dan garam. Bahan pangan organik tersebut bukan merupakan campuran bahan pangan organik dan non organik yang sejenis.

Bahan baku organik berasal dari produsen yang telah disertifikasi organik. Hal ini diperlukan untuk mengetahui asal usul dan keorganikan bahan baku yang digunakan. Pada resep produk olahan, kita dapat menghitung prosentase kandungan bahan organik yang digunakan.

Pangan olahan organik wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan. Untuk menghasilkan pangan organik yang berkualitas, prosesor perlu menjaga integritas keorganikan produk dan memenuhi Cara Penanganan Pasca Panen dan Pengolahan Hasil Pangan Organik Yang Baik (Good Handling Practices-GHP & Good Manufacturing Practices-GMP for Organic Foods).

Melalui pendekatan GMP dan GHP, prosesor perlu mengidentifikasi titik kritis terjadinya potensi kontaminasi produk dari semua tahapan produksi yang dilakukan, baik kontaminasi secara fisik, kimia, mikrobiologi maupun potensi pencampuran dengan produk non organik dan bahan-bahan yang dilarang saat proses pengolahan produk organik. Setelah diidentifikasi, prosesor perlu membuat tindakan pencegahan dan tindakan perbaikan yang diperlukan untuk mencegah dan memperbaiki terjadinya kontaminasi keorganikan produk sekaligus memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan.

Misalnya identifikasi potensi kontaminasi keorganikan produk saat pengangkutan bahan baku. Pemasok menggunakan kendaraan yang digunakan sebelumnya untuk mengangkut produk non organik. Tindakan pencegahannya, prosesor meminta pemasok menggunakan kendaraan khusus untuk produk organik, atau, pemasok diminta melakukan pembersihan kendaraan yang digunakan sebelum digunakan untuk mengangkut produk organik. Apabila kontaminasi teridentifikasi saat pengangkutan produk, tindakan yang dilakukan dengan tidak menerima bahan baku tersebut.

Pengendalian hama pada gudang dan area produksi dilakukan dengan menghilangkan habitat (sarang hama). Tindakan pencegahan ini menjadi cara utama untuk pengendalian hama. Namun, jika tindakan pencegahan tersebut dianggap tidak cukup, dilakukan pengendalian hama dengan menggunakan cara mekanis/fisik dan biologis seperti dengan penggunaan suara, pencahayaan, perangkat, pengendali suhu dan udara. Radiasi ion untuk pengendalian hama, pengawetan pangan, penghilangan patogen atau sanitasi, tidak diperbolehkan dilakukan pada produk pangan organik.

Metode pemrosesan bahan pangan harus dilakukan secara mekanis, fisik atau biologis (seperti fermentasi dan pengasapan) serta meminimalkan penggunaan ingridien dan aditif non-pertanian. Potensi kontaminasi keorganikan produk terjadi pada saat pengolahan. Misalnya prosesor mengolah produk organik dan non organik menggunakan peralatan di tempat produksi yang sama. Pencegahan yang dilakukan dengan memberikan prioritas untuk pengolahan produk organik dahulu kemudian selang beberapa saat dilanjutkan dengan pengolahan non organik. Peralatan yang digunakan perlu dibilas dengan air panas sebelum digunakan untuk pengolahan organik. Bila terjadi kontaminasi dan pencampuran produk, lot produksi yang bersangkutan harus dipisahkan dan tidak dapat diklaim sebagai produk organik.

Dalam pertanian organik, penggunaan bahan-bahan yang mengandung GMO tidak diperbolehkan dilakukan pada produk pangan organik. Penggunaan bahan kemasan sebaiknya dipilih dari bahan yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme (bio-degradable materials), bahan hasil daur-ulang (recycled materials), atau bahan yang dapat didaur-ulang (recyclable materials). Namun apabila bahan ini sulit didapat dan mahal, disarankan menggunakan kemasan berkualitas food grade. Selama penyimpanan, produk organik harus dilindungi setiap saat agar tidak tercampur dengan produk pangan non-organik dan tidak tersentuh bahan-bahan yang tidak diijinkan untuk digunakan dalam sistem produksi pertanian organik dan penanganannya. Jika hanya sebagian produk yang tersertifikasi organik, maka penyimpanannya dilakukan secara terpisah dan diidentifikasi secara jelas dengan produk non organik. Tempat penyimpanan dan kontainer untuk pengangkutan produk pangan organik harus dibersihkan dulu dengan menggunakan metode dan bahan yang diijinkan digunakan untuk sistem produksi pertanian organik.

Sertifikasi pangan olahan organik

Untuk sertifikasi organik, prosesor dapat mengajukan sertifikasi kepada lembaga sertifikasi organik. Lembaga sertifikasi akan memberikan formulir aplikasi untuk pengolahan organik, kemudian diisi dan dikembalikan ke lembaga sertifikasi organik dilengkapi dengan dokumen terkait, seperti dokumen sistem mutu produk organik.

Apabila kita telah menerapkan sistem keamanan pangan seperti HACCP atau ISO 22000, sistem mutu produk organik dapat menjadi bagian dari sistem tersebut. Sistem tersebut diterapkan sesuai dengan standar organik yang diacu dan didokumentasikan.

Inspektor dari lembaga sertifikasi akan mengecek seluruh proses produksi dan fasilitas yang digunakan termasuk dokumentasi dan resep produk untuk memastikan bahwa proses produksi yang dilakukan sesuai dengan standar pangan organik. Apabila kita memperoleh bahan baku yang belum disertifikasi, maka sumber bahan baku menjadi subjek inspeksi. Tentunya ini memerlukan waktu dan biaya inspeksi yang lebih mahal. Disarankan agar prosesor menggunakan bahan baku yang telah disertifikasi organik. Standar organik yang digunakan sebagai acuan untuk sertifikasi organik tergantung pada tujuan pasarnya. Untuk itu, prosesor perlu mengidentifikasi lembaga sertifikasi yang kredibel sehingga produk organik yang telah disertifikasinya dapat diterima pasar.

Pelabelan pangan olahan organik

Produk pangan dapat dilabel sebagai produk olahan organik, apabila mengandung bahan pangan organik minimal 95% dari total volume atau berat produk, tidak termasuk garam dan air. Label “Organik” ini dapat dicantumkan pada kemasan produk, namun ukurannya tidak melebihi dari ukuran label produk. Dalam SNI, untuk produk olahan yang mengandung bahan pangan organik kurang dari 95% namun lebih dari 70%, maka produk tersebut tidak dapat dilabel sebagai produk “Organik”. Namun dalam daftar ingridien, bahan pangan organik dapat dicantumkan dan ditampilkan dalam susunan menurun berdasarkan berat. Informasi dalam daftar ingridien tampil dengan warna yang sama dan dengan jenis serta ukuran huruf yang sama seperti informasi dalam daftar ingridien yang lain Dalam label dan iklan produk olahan organik dilarang memuat keterangan yang menyatakan kelebihan pangan olahan organik dari pangan non organik. Jadi klaim bahwa produk organik lebih menyehatkan atau sejenisnya dilarang dicantumkan dalam label dan iklan produk olahan organik.

Regulasi nasional pangan olahan organik

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) menerbitkan aturan pengawasan pangan olahan organik yang diproduksi atau dimasukkan untuk diperdagangkan ke dalam wilayah Indonesia. Peraturan Kepala Badan POM nomor HK.00.06.52.0100 tertanggal 7 Januari 2008 mewajibkan setiap produk olahan organik memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan serta memenuhi ketentuan tentang pelabelan dan periklanan yang berlaku. Pangan olahan organik mengandung bahan pangan organik minimal 95% dari total volume atau berat produk, tidak termasuk garam dan air. Bahan yang sama tidak boleh berasal dari pencampuran bahan organik dan non-organik.

Ijin edar produk olahan organik dikeluarkan oleh Badan POM. Bagi produk olahan organik lokal, produk olahan menggunakan pangan segar organik yang telah disertifikasi organik oleh Lembaga Sertifikasi Pertanian Organik yang terakreditasi di Indonesia. Bagi pangan olahan impor, produk tersebut telah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh otoritas kompeten di negara asal dan disahkan oleh Otoritas Kompeten Pertanian Organik Departemen Pertanian [OKPO Deptan] Indonesia.

Peraturan ini juga mengatur pelabelan produk olahan organik. Produk pangan olahan organik yang memenuhi aturan ini dapat melabel produknya dengan mencantumkan kata ”organik” setelah nama jenis pangan dan logo ”ORGANIK INDONESIA” sehingga konsumen dapat mengenali produk olahan organik yang telah terdaftar di Badan POM.

Dalam label produk, ukuran kata “organik” tidak boleh melebihi ukuran huruf untuk nama jenis produk. Selain itu, produsen organik dilarang mengklaim kelebihan produk organik dibandingkan produk konvensional. Prosesor atau pemasar produk olahan organik dapat memperoleh ijin edar produk olahan organik dengan mengajukan pendaftaran ke Badan POM disertai contoh kemasan atau label produk yang didaftarkan. Izin yang sudah dikeluarkan Badan POM berlaku selama 5 tahun.

Pasar pangan organik dunia Permintaan produk organik global tetap meningkat. Menurut Organic Monitor [2006], pasar produk organik dunia -baik makanan dan minuman- mencapai 38,6 milyar US dolar pada tahun 2006 atau meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2000 sebesar 18 milyar US dolar. Eropa dan Amerika Serikat menjadi pasar utama produk organik. Sementara pasar Asia diperkirakan mencapai 780 juta US dollar di tahun 2006. Pasar produk organik Asia berada di Jepang, Korea Selatan, Singapura, Taiwan dan Hongkong. Diharapkan pada akhir tahun 2010, pasar produk organik dunia diperkirakan mencapai 70,2 milyar US dolar.

Namun sayang, kita tidak memiliki data mengenai pasar produk organik di Indonesia. Namun begitu, bila kita berjalan ke beberapa outlet yang khusus menjual produk organik di Jakarta atau Surabaya, ditemukan beragam produk olahan organik, dimana sebagian besar merupakan produk impor.

Indonesia memiliki potensi sebagai produsen produk organik dunia. Di akhir 2008, Indonesia diperkirakan memiliki 89.190 hektar lahan yang telah disertifikasi organik atau meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2007 seluas 41.431 hektar. Kopi, kakao, mete, rempah-rempah dan tanaman obat, gula aren, udang, madu hutan, kelapa dan produk turunannya, minyak atsiri merupakan produk organik andalan Indonesia. Untuk kopi dan kakao diekspor dalam bentuk bahan baku. Sementara untuk produk lainnya diolah menjadi pangan organik dan diekspor ke pasar Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.

Saat Minuman Tradisional Menjadi Ready to Drink

Posted: by smarters06 in Label:
0

Indonesia kaya dengan ragam pangan tradisional yang mampu diangkat menjadi produk nasional dan bisa bersaing dengan produk impor. Sayangnya masih sedikit masyarakat yang memanfaatkan peluang ini.

Satu diantara penyebab hal tersebut adalah kemasan produk pangan tradisional masih kalah bersaing dengan kemasan produk pangan luar negeri, padahal secara kualitas produk lokal mungkin lebih baik dibandingkan produk luar negeri.

Maklum lah kalau dilihat dari media komunikasi, fungsi suatu kemasan produk tidak sekadar sebagai pelindung atau wadah, akan tetapi juga dapat menarik minat pembeli. Karenanya, harus dipikirkan desain kemasan yang menonjol sehingga daya tariknya lebih besar.

Banyak makanan dan minuman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia kalau dilihat dari nilai gizi terhitung baik. Lihat saja minuman seperti beras kencur, temulawak, kunyit-asam, serbat, dadih (fermentasi susu khas Sumatera Barat), dali (fermentasi susu kerbau khas Sumatera Utara), sekoteng atau bandrek.

Belum lagi makanannya seperti keripik balado Padang, kacang oven Bogor, keripik emping melinjo Pandeglang, bawang Palu, dan abon ikan tuna Marlin. Para ahli gizi pun akan sependapat bahwa pangan tersebut memiliki manfaat bagi kesehatan manusia.

Bagi sebagian masyarakat Indonesia pun produk tersebut sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu sudah menjadi bagian kehidupan mereka. Memang ada sebagian pebisnis yang melihat pangan tradisonal milik Indonesia dan dijadikan usaha baru mereka.

Kini masyarakat tidak hanya membeli barang, tetapi juga membayar nilai estetika kemasan. Bahkan sebagian masyarakat tidak segan membeli produk serupa dengan harga berlipat asal kemasannya menarik.

Memang di pasar, produk pangan tradisional ini masih cukup bersinar. Sebab masyarakat awam terkadang tidak begitu memperhatikan soal kemasan, yang penting “banyak asal murah” atau sebaliknya. Untuk hal ini pelaku usaha pangan tradisional boleh membusungkan dada, tapi pasar modern seperti supermarket jelas menolak produk tersebut.

Sebenarnya beberapa pelaku usaha produk pangan tersebut telah berusaha menerobos pasar modern. Tapi standar yang ditetapkan seringkali menjadi penghambat. Di antaranya label, bar code, nama perusahaan, informasi gizi, dan sebagainya. Padahal, potensi pasar cukup luas dan menjanjikan.

Tapi ada juga kabar bahagia, yaitu ada minuman jamu yang dijual dipasaran dalam bentuk serbuk. Beberapa tahun belakangan ini produk yang berbentuk serbuk pun dipakai untuk penjualan temulawak, jahe, hingga bandrek.

Langkah tersebut patut diberi apresiasi, namun keinginan masyarakat yang terus berubah patut diperhitungkan juga dalam mengembangkan produk tersebut agar terus digandrungi oleh masyarakat. Lihat saja disekitar kita, banyak bermunculan minuman yang tinggal ditusuk dengan sedotan dan tinggal diminum atau istilah populernya adalah ready to drink.

Sebenarnya pengemasan ini sudah digunakan untuk beberapa jenis minuman tradisional kita seperti minuman teh, minuman kacang hijau dan buah-buahan lain. Belakangan pun salah satu perusahaan jamu terbesar di Indonesia mengeluarkan beragam jenis minuman seperti minuman tradisional gula asam, beras kencur, serbat.

Minuman instan yang siap minum tersebut disajikan di dalam kemasan Tetra Pak yang higienis dan praktis. Lewat kemasan ini masyarakat bisa menikmati minuman tradisional milik Indonesia seperti layaknya meminum minuman modern yang notabenenya berasal dari negara lain.

Ada banyak keunggulan jika minuman tradisional kita disajikan ready to drink dengan menggunakan kemasan modern seperti tidak memerlukan bahan pengawet, shelf-life yang panjang, serta praktis dan aman untuk dikonsumsi. Memang perlu dana tambahan jika mau menggunakan kemasan yang berasal dari karton aspetik tersebut. Dan akibatnya memang akan berdampak dengan harga jual produk kita nantinya.

Tapi yakin lah dengan biaya tersebut akan tertutupi/diimbangi dengan menariknya penampilan produk yang dijual yang dapat mempertahankan nilai gizinya tanpa diperlukan bahan pengawet sehingga akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang membelinya. Dan akhirnya minuman tradisional pun mampu bersaing dengan produk impor di pasar dalam maupun luar negeri.

Foods and Health Claims: the European Approach and Future Perspectives

Posted: by smarters06 in Label:
0

The new European legislation on health claims has been in force since July 2007. One of the key objectives of the regulation on nutrition and health claims is to “ensure that consumers will be able to rely on the truth and accuracy of information” by making sure that such claims are based on reliable scientific evidence. Thus, the goal is to protect consumers both from misleading information and claims. Another goal has been to focus on central assessment of health claims in Europe.

Interest in the health claims has been high among the industry already for a decade. This has led to the process coordinated by the ILSI Europe with funding from the European Union and collaboration between the industry, regulators and researchers focusing on functional food science in Europe. Along this process, the specific topics and areas of research excellence have been identified. Later, methodologies to ascertain health claims have been clarified through this collaboration resulting in reports and proposals published in the scientific literature.

When the new legislation was finalized, the task of scientific evaluation has been given to the European Food Safety Authority (EFSA) regarding both the scientific assessment of existing claims on foods submitted by all European Union member states and product-specific health claim applications submitted since late 2007 to EFSA. Both tasks are important and specific time lines are enforced. The applications for product specific claims should be handled within 5 months of the submission provided the application can be validated first by EFSA. Assessment of the existing health claims submitted by member states should be concluded by EFSA and submitted to the European Commission. The specific tasks for EFSA include supporting EU decision-makers in implementing the new Regulation by providing scientific advice on:

Setting up nutrient profiles by 2009 – the basic nutritional criteria that will govern the conditions in which claims may be made

Establishing an EU-wide list of permitted health claims by 2010

Assessing on a case-by-case basis whether individual claims are scientifically reliable and justified Providing guidance for applications on the preparation of applications for the authorisation of claims

The evaluation process involves different types of claims as defined in specific articles of the Legislation. These are the following:

Article 13 health claims concern health claims based on generally accepted scientific evidence, the Commission has sent a draft final list to Member States of about 1700 claims. Member States may raise any concerns on any claims not on this list and thereafter EFSA will assess the science base behind the claims.

Article 14 claims relate to children’s health and specific disease risk reduction claims which need to be demonstrated in studies in target populations. Among the first product specific children’s health associated claims was a food supplement made with probiotics and fermented vegetables and fruit and several other are currently evaluated.

Article 18 claims relate to products which are based on new science and proprietary data. These include new application on food and health that may contain new unpublished information.

Over two hundred claim applications have been submitted and are being processed and the abstracts and later also decision will be made public. Advise for applications and checklists are available at the EFSA net-page. Later on, information on the assessment of the existing claims in all member states will become available.

The scientific evaluation is conducted by the NDA Panel (Panel on Nutrition, Dietetic products, and Allergies (NDA)) of the EFSA. This panel currently consists of 17 experts, but there are plans to expand the panel. Additional expertise may also be recruited from outside the panel to assist in preparing health claim assessments for specific areas. Among the first opinions is the scientific opinion on nutrient profiles and how they should be considered in relation to health claims. This part facilitates the target that foods are assessed also for the nutritional quality prior to granting health claims.

The first decisions on health claims include both approvals of applied claims and claims which have not been considered scientifically well documented. The decision can be viewed for example on the EFSA webpage. It is clear, for instance, that health claims for children including diseases risk reduction require more proof, especially clinical intervention trials in the target populations which may include infants after weaning and children of different ages.

This part is also clearly defined in the legislation. It is also clear that the applications have to be prepared in a clear manner and according to the guidelines prepared by the EFSA. This will clearly assist in the assessment and also make it clear for the company preparing the application what is required and how to present and summarize the information.

As we progress, more practical examples become available and also the application summaries can be viewed within the EFSA web-pages. It is likely to be of help to the applicant to check the abstracts and the panel opinions which are public. This will enable the applicant to check the requirements and reasons for either approving or not approving the claims.

Another matter of great interest is the ongoing assessment of health claims that have already been in use in different European Union member states. These have been submitted to the European Commission for assessment by each members state and the procedure is ongoing with expected decisions in 2009. Several thousands of claims were submitted and currently the European Food Safety Authority is assessing the scientific basis of the claims.

The current assessment procedure is especially important for both the consumers and the industry. The target is to provide new and reliable EU-wide claims to consumers to help the consumer in food selection and in understanding the potential scientifically proved health benefits. On the other hand, the target is to allow the companies which have conducted new and scientifically sound research to also state the benefit of the products in their food labels. These targets are designed for the benefit of all of us, and they are likely to lead the food industry to further emphasize health aspects and nutritional benefits in product development thus benefiting all of us.

The interest of the food industry has been significantly high and both small, medium-size and large food companies have focused on this area. The interest is also mirrored in the number of applications submitted in Europe since the legislation was enforced – the number of applications has increased continuously and there was keen interest in the gathering of national lists of existing health claims from member states and providing scientific backing for them.

Thus, the industry is now more prone to guide product development towards increased knowledge of health effects of both food ingredients and products. This focus is within the interest both regulatory authorities, food and nutrition scientists, health professionals and the scientific community as well as the end users. The consideration of health claims also emphasizes the health benefits of foods but it also emphasizes the flavour of healthy or functional foods. It has been experienced and in addition to health claims, the individual foods have to taste good and they have to be desirable to the consumer.

Insight on Food Biotechnology

Posted: by smarters06 in Label:
0

Bioteknologi telah digunakan dalam proses pangan sejak ribuan tahun yang lalu. Roti, kecap, keju, yoghurt, dan vinegar merupakan contoh produk yang dikembangkan melalui bioteknologi dan cukup populer hingga saat ini. Penggunaan bioteknologi hingga saat ini terus dikembangkan, terutama untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik.




Menurut data tahun 2007 yang dikumpulkan oleh International Service for the Acquisition of Agri-Bioteknologi Applications (ISAAA), Amerika Serikat saat ini merupakan pemimpin dalam penanaman secara global tanaman yang diproduksi melalui bioteknologi. AS menanam 57,7 juta hektar varietas bioteknologi mulai dari kacang kedelai, jagung, kapas, kanola, labu, pepaya, dan alfalfa di tahun 2007. Selain itu, jumlah negara yang menanam tanaman yang diproduksi melalui bioteknologi meningkat menjadi 23 negara pada 2007 (ISAAA Briefs 37-2007). Bioteknologi digunakan untuk menghasilan produk pangan dengan berbagai macam tujuan, misalnya supaya lebih segar, rasa lebih enak, atau lebih awet. Berikut ini adalah sedikit contoh pangan yang dimodifikasi melalui proses bioteknologi.

Tomat dengan sifat pematangan yang tertunda mempunyai rasa yang lebih baik, segar lebih lama, dan terjaga kualitasnya selama distribusi. Kedelai, kanola, jagung, kapas, dan tanaman kentang yang terlindungi dari serangga, atau toleran herbisida atau keduanya

Squash (semacam labu) yang sudah dibuat lebih tahan terhadap virus yang sering menyerang sayuran yang merambat.

Bioteknologi bukan hanya sekedar Genetically Modified Organisms (GMO). Sebenarnya, saat ini banyak sekali produk bioteknologi yang populer di masyarakat, misalnya. Kecap, roti, tempe, yoghurt, keju, terasi, petis, tape, dan vetsin (MSG) adalah sedikit contoh produk bioteknologi yang sangat populer di masyarakat Indonesia. Bahkan, sebagian produk-produk tersebut telah ada sejak jaman dahulu, di wariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita.

Masa depan bioteknologi pangan

Penelitian di bidang bioteknologi pangan saat ini sedang berusaha menemukan cara yang lebih cepat untuk mengetahui kontaminasi mikroba ke dalam pangan. Hal ini dapat menurunkan risiko foodborne disease. Para Ilmuwan juga sudah mulai meneliti keberadaan protein penyebab alergi dalam pangan, sehingga masyarakat yang alergi terhadap pangan tertentu, satu hari dapat mengkonsumsi pangan tersebut secara aman.

Penerapan bioteknologi juga dapat memberikan lebih banyak ketersediaan produk sehat bagi manusia, misalnya dalam menghasilkan pangan kaya antioksidan dan vitamin serta rendah lemak.

Produk-produk yang telah memasyarakat sejak awal, seperti yoghurt dan tempe, telah dikenal manfaatnya bagi kesehatan. Kedepannya bioteknologi pangan akan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Sebelum diperkenalkan di pasaran, produk-produk bioteknologi telah melalui proses uji yang cukup panjang. Isu-isu negatif tentang bioteknologi perlu disikapi secara cermat. Karena tidak semua isu tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah.