0
Penampilan mencerminkan sikap, begitu kata psikolog. Ya, baik sikap, kepribadian atau karakter seseorang memang bisa dilihat bagaimana dia menampilkan dirinya. Koq bisa? Ya bisa saja. Sebab, masih kata para psikolog, penampilan adalah refleksi paling real dari watak asli seseorang. Tidak hanya itu, penampilan seseorang juga bisa mencerminkan cara berfikir, status sosial, dan bahkan tingkat moralitas religiusnya. (Tentu saja yang terakhir itu tidak mutlak), sebab yang akai baju gamis/koko belum tentu bermoral tinggi seperti juga yang memakai baju lusuh belum tentu bermoral bejat. Terlalu naif menilai seseorang hanya dari cara berpakaiannya.
Kenal Mahatama Ghandi?? Pemimpon besar India itu kerap memakai celana kolor sehingga oleh Churcill (Perdana Menteri Britania Raya), ia pernah disebut “si fakir bugil”. Tapi kemudian dunia mengakuinya sebagai pemimpin yang amat bersahaja, dan dalam kebersahajaanya itu, ia menyimpan cinta, yang kemudian meruntuhkan kolonialisme Inggris di India. Atau tengok juga pemimpin lain yang ber-jas safari dengan jam tangan Rolex melingkar di lengannya dan mungkin dengan cerutu di bibirnya, kebanyakan kita tahu, lewat sejarah, jenis manusia macam apa mereka ini. Begitulah, busana dan penampilan fisik bias menjadi cermin keperibadian. Meski, sekali lagi, tidak mutlak.
Ngga hanya itu, busana pun bisa menjadi indicator tingkat moralitas suatu zaman. Di tahun 70-an ketika rock n roll menggila, banyak orang memakai baju ala hippies, busana yang “in” saat itu adalah busana yang mendobrak formalitas dan bahkan etika. Dan kemudian kita tahu, saat itu memang terjadi revolusi etika. Anak2 muda saat itu mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap kesopanan yang kaku dengan memakai baju2 yang sama sekali nggak formal.
Lalu sekarang, hal itui kembali terulang, meski dengan konteksyang sama sekali lain. Sudah bukan rahasia lagi kalau teman2 gadis kita mulai berani mebuka paha, ketiak bahkan pusar mereka. Baju2 super ketat menjadi komoditas yang paling laku dan digemari. Konon, dengan dada dan pinggul yag menonjol keluar, dengan pusar yang terbuka, mereka lebih merasa PeDe. Barangkali kita kudu bertanya kpd psikolog, apa hubungannya antara aurat dan rasa PeDe?? Yang pasti, baju2 ketat dan terbuka yang dipakai mirip karung beras BULOG atau “leupeut” mencerminkan seperti apa karakter orang yang memakainya.
Mereka yang memakai pakaian ketat dan terbuka dengan dada dan pinggul yang menyembul seperti bisul atau yang terbuka ketiak dan pusarnya, setidaknya mengidap penyakit yang dalam psikologi disebut mencintai diri sendiri secara berlebihan. Mereka menyukai bentuk tubuhnya dan berharap orang lain juga menyukainya. Karena itu mereka memakai pakaian yang bisa mencetak dengan jelas bentuk tubuh mereka. Kedua, mereka juga mengidap eksibisionisme, penyakit kejiwaan yang membuat orang merasa senang jika membuka aurat di depan umu. Kalau ada yang membuka aurat di kamar mandi, itu bukan eksibisionisme karena tempat dan kondisinya tepat. Tapi kalau ada yang sengaja membuka dan memamerkan ketiak, paha, pusar dan dada di mall2 atau tempat umum lainnya, tidak diragukan lagi, mereka itu mengidap penyakit jiwa.